Latar belakang
Mahabharata
merupakan kisah kilas balik yang dituturkan oleh Resi Wesampayana
untuk Maharaja Janamejaya yang gagal mengadakan upacara korban ular.
Sesuai dengan permohonan Janamejaya, kisah tersebut merupakan kisah raja-raja
besar yang berada di garis keturunan Maharaja Yayati, Bharata,
dan Kuru,
yang tak lain merupakan kakek moyang Maharaja Janamejaya.
Kemudian Kuru menurunkan raja-raja Hastinapura
yang menjadi tokoh utama Mahabharata. Mereka adalah Santanu, Chitrāngada,
Wicitrawirya,
Dretarastra,
Pandu, Yudistira, Parikesit dan
Janamejaya.
Para Raja India Kuno
Mahabharata
banyak memunculkan nama raja-raja besar pada zaman India Kuno seperti Bharata,
Kuru,
Parikesit
(Parikshita), dan Janamejaya. Mahabharata merupakan kisah besar keturunan
Bharata, dan Bharata adalah salah satu raja yang menurunkan tokoh-tokoh utama
dalam Mahabharata.
Kisah Sang Bharata
diawali dengan pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala.
Raja Duswanta adalah seorang raja besar dari Chandrawangsa keturunan Yayati, menikahi
Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa, kemudian menurunkan Sang Bharata,
raja legendaris. Sang Bharata lalu menaklukkan daratan India Kuno. Setelah
ditaklukkan, wilayah kekuasaanya disebut Bharatawarsha
yang berarti wilayah kekuasaan Maharaja Bharata (konon meliputi Asia
Selatan)[2].
Sang Bharata
menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat pemerintahan
bernama Hastinapura.
Sang Hasti menurunkan Para Raja Hastinapura. Dari keluarga tersebut, lahirlah
Sang Kuru,
yang menguasai dan menyucikan sebuah daerah luas yang disebut Kurukshetra
(terletak di negara bagian Haryana, India Utara). Sang Kuru menurunkan Dinasti
Kuru atau Wangsa Kaurawa. Dalam Dinasti tersebut, lahirlah
Pratipa, yang menjadi ayah Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan Korawa.
Kerabat
Wangsa Kaurawa (Dinasti Kuru) adalah Wangsa Yadawa,
karena kedua Wangsa tersebut berasal dari leluhur yang sama, yakni Maharaja Yayati, seorang
kesatria dari Wangsa Chandra atau Dinasti Soma, keturunan Sang Pururawa. Dalam
silsilah Wangsa Yadawa, lahirlah Prabu Basudewa, Raja
di Kerajaan Surasena, yang kemudian berputera Sang Kresna, yang
mendirikan Kerajaan Dwaraka. Sang Kresna dari Wangsa Yadawa
bersaudara sepupu dengan Pandawa dan Korawa dari Wangsa Kaurawa.
Prabu Santanu dan keturunannya

Prabu Santanu adalah
seorang raja mahsyur dari garis keturunan Sang
Kuru, berasal dari Hastinapura. Ia menikah dengan Dewi Gangga
yang dikutuk agar turun ke dunia, namun Dewi Gangga meninggalkannya karena Sang
Prabu melanggar janji pernikahan. Hubungan Sang Prabu dengan Dewi Gangga sempat
membuahkan anak yang diberi nama Dewabrata atau Bisma. Setelah ditinggal Dewi Gangga, akhirnya Prabu Santanu
menjadi duda.
Beberapa
tahun kemudian, Prabu Santanu melanjutkan kehidupan berumah tangga dengan menikahi
Dewi Satyawati,
puteri nelayan. Dari hubungannya, Sang Prabu berputera Sang Citrānggada
dan Wicitrawirya.
Citrānggada wafat di usia muda dalam suatu pertempuran, kemudian ia digantikan
oleh adiknya yaitu Wicitrawirya. Wicitrawirya juga wafat di usia muda dan belum
sempat memiliki keturunan. Atas bantuan Resi Byasa, kedua istri
Wicitrawirya, yaitu Ambika
dan Ambalika,
melahirkan masing-masing seorang putera, nama mereka Pandu (dari Ambalika)
dan Dretarastra
(dari Ambika).
Dretarastra
terlahir buta, maka tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandu, adiknya. Pandu
menikahi Kunti
kemudian Pandu menikah untuk yang kedua kalinya dengan Madrim, namun
akibat kesalahan Pandu pada saat memanah seekor kijang yang sedang kasmaran,
maka kijang tersebut mengeluarkan (Supata=Kutukan) bahwa Pandu tidak akan
merasakan lagi hubungan suami istri, dan bila dilakukannya, maka Pandu akan
mengalami ajal. Kijang tersebut kemudian mati dengan berubah menjadi wujud
aslinya yaitu seorang pendeta.
Kemudian
karena mengalami kejadian buruk seperti itu, Pandu lalu mengajak kedua istrinya
untuk bermohon kepada Hyang Maha Kuasa agar dapat diberikan anak. Lalu Batara
guru mengirimkan Batara Dharma untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahir anak
yang pertama yaitu Yudistira Kemudian Batara Guru mengutus Batara Indra untuk
membuahi Dewi Kunti shingga lahirlah Harjuna, lalu Batara Bayu dikirim juga
untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahirlah Bima, dan yang terakhir, Batara
Aswin dikirimkan untuk membuahi Dewi Madrim, dan lahirlah Nakula dan Sadewa.
Kelima
putera Pandu tersebut dikenal sebagai Pandawa. Dretarastra
yang buta menikahi Gandari, dan memiliki seratus orang putera dan seorang puteri
yang dikenal dengan istilah Korawa. Pandu dan Dretarastra memiliki saudara bungsu bernama Widura. Widura
memiliki seorang anak bernama Sanjaya, yang memiliki mata batin agar mampu
melihat masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.
Keluarga Dretarastra,
Pandu, dan Widura membangun
jalan cerita Mahabharata.
Pandawa dan Korawa
Pandawa dan Korawa merupakan
dua kelompok dengan sifat yang berbeda namun berasal dari leluhur yang sama,
yakni Kuru
dan Bharata. Korawa (khususnya Duryodana)
bersifat licik dan selalu iri hati dengan kelebihan Pandawa, sedangkan Pandawa
bersifat tenang dan selalu bersabar ketika ditindas oleh sepupu mereka. Ayah
para Korawa, yaitu Dretarastra, sangat menyayangi putera-puteranya. Hal itu
membuat ia sering dihasut oleh iparnya yaitu Sangkuni,
beserta putera kesayangannya yaitu Duryodana,
agar mau mengizinkannya melakukan rencana jahat menyingkirkan para Pandawa.
Pada suatu
ketika, Duryodana
mengundang Kunti
dan para Pandawa
untuk liburan. Di sana mereka menginap di sebuah rumah yang sudah disediakan
oleh Duryodana. Pada malam hari, rumah itu dibakar. Namun para Pandawa
diselamatkan oleh Bima sehingga mereka tidak terbakar
hidup-hidup dalam rumah tersebut. Usai menyelamatkan diri, Pandawa dan Kunti
masuk hutan. Di hutan tersebut Bima bertemu dengan rakshasa Hidimba dan
membunuhnya, lalu menikahi adiknya, yaitu rakshasi Hidimbi. Dari
pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca.
Setelah
melewati hutan rimba, Pandawa melewati Kerajaan
Panchala. Di sana tersiar kabar bahwa Raja Drupada
menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi Dropadi. Karna mengikuti
sayembara tersebut, tetapi ditolak oleh Dropadi. Pandawa pun turut serta
menghadiri sayembara itu, namun mereka berpakaian seperti kaum brahmana.
Pandawa ikut
sayembara untuk memenangkan lima macam sayembara, Yudistira untuk memenangkan
sayembara filsafat dan tatanegara, Arjuna untuk memenangkan sayembara senjata Panah, Bima memenangkan
sayembara Gada dan Nakula
- Sadewa untuk
memenangkan sayembara senjata Pedang. Pandawa berhasil melakukannya dengan baik
untuk memenangkan sayembara.
Dropadi
harus menerima Pandawa sebagai suami-suaminya karena sesuai janjinya siapa yang
dapat memenangkan sayembara yang dibuatnya itu akan jadi suaminya walau
menyimpang dari keinginannya yaitu sebenarnya yang diinginkan hanya seorang
Satriya.
Setelah itu
perkelahian terjadi karena para hadirin menggerutu sebab kaum brahmana tidak
selayaknya mengikuti sayembara. Pandawa berkelahi kemudian meloloskan diri.
sesampainya di rumah, mereka berkata kepada ibunya bahwa mereka datang membawa
hasil meminta-minta. Ibu mereka pun menyuruh agar hasil tersebut dibagi rata
untuk seluruh saudaranya. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat bahwa
anak-anaknya tidak hanya membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang
wanita. Tak pelak lagi, Dropadi menikahi kelima Pandawa.
Permainan dadu

Agar tidak
terjadi pertempuran sengit, Kerajaan Kuru dibagi dua untuk dibagi kepada Pandawa dan Korawa. Korawa
memerintah Kerajaan Kuru induk (pusat) dengan ibukota Hastinapura,
sementara Pandawa memerintah Kerajaan Kurujanggala dengan ibukota Indraprastha.
Baik Hastinapura maupun Indraprastha memiliki istana megah, dan di sanalah Duryodana
tercebur ke dalam kolam yang ia kira sebagai lantai, sehingga dirinya menjadi
bahan ejekan bagi Dropadi.
Hal tersebut membuatnya bertambah marah kepada para Pandawa.
Untuk
merebut kekayaan dan kerajaan Yudistira, Duryodana mengundang Yudistira
untuk main dadu ini atas ide Sangkuni, hal ini dilakukan sebenarnya untuk menipu Pandawa
mengundang Yudistira untuk main dadu dengan taruhan. Yudistira yang gemar main
dadu tidak menolak undangan tersebut dan bersedia datang ke Hastinapura.
Pada saat
permainan dadu, Duryodana diwakili oleh Sangkuni
sebagai bandar dadu yang memiliki kesaktian untuk berbuat curang. Permulaan
permainan taruhan senjata perang, taruhan pemainan terus meningkat menjadi
taruhan harta kerajaan, selanjutnya prajurit dipertaruhkan, dan sampai pada
puncak permainan Kerajaan menjadi taruhan, Pandawa kalah habislah semua harta
dan kerajaan Pandawa termasuk saudara juga dipertaruhkan dan yang terakhir
istrinya Dropadi dijadikan taruhan.
Dalam
peristiwa tersebut, karena Dropadi sudah menjadi milik Duryodana, pakaian Dropadi ditarik
oleh Dursasana
karena sudah menjadi harta Duryodana sejak Yudistira kalah main dadu, namun
usaha tersebut tidak berhasil membuka pakaian Dropadi, karena
setiap pakaian dibuka dibawah pakaian ada pakaian lagi begitu terus tak
habisnya berkat pertolongan gaib dari Sri Kresna.
Karena
istrinya dihina, Bima bersumpah akan membunuh Dursasana dan
meminum darahnya kelak. Setelah mengucapkan sumpah tersebut, Dretarastra
merasa bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya, maka ia mengembalikan segala
harta Yudistira yang dijadikan taruhan.
Duryodana
yang merasa kecewa karena Dretarastra telah mengembalikan semua harta yang
sebenarnya akan menjadi miliknya, menyelenggarakan permainan dadu untuk yang
kedua kalinya. Kali ini, siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan
selama 12 tahun, setelah itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan
setelah itu berhak kembali lagi ke kerajaannya. Untuk yang kedua kalinya, Yudistira
mengikuti permainan tersebut dan sekali lagi ia kalah. Karena kekalahan
tersebut, Pandawa
terpaksa meninggalkan kerajaan mereka selama 12 tahun dan hidup dalam masa
penyamaran selama setahun.
Setelah masa
pengasingan habis dan sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak
untuk mengambil alih kembali kerajaan yang dipimpin Duryodana. Namun
Duryodana
bersifat jahat. Ia tidak mau menyerahkan kerajaan kepada Pandawa, walau seluas
ujung jarum pun. Hal itu membuat kesabaran Pandawa habis.
Misi damai dilakukan oleh Sri Kresna, namun berkali-kali gagal. Akhirnya, pertempuran tidak
dapat dielakkan lagi.
Pertempuran di Kurukshetra

Pandawa
berusaha mencari sekutu dan ia mendapat bantuan pasukan dari Kerajaan
Kekaya, Kerajaan Matsya, Kerajaan
Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan
Kerala, Kerajaan Magadha, Wangsa Yadawa, Kerajaan
Dwaraka, dan masih banyak lagi. Selain itu para ksatria besar di Bharatawarsha
seperti misalnya Drupada,
Satyaki, Drestadyumna,
Srikandi, Wirata, dan
lain-lain ikut memihak Pandawa. Sementara itu Duryodana
meminta Bisma
untuk memimpin pasukan Korawa sekaligus mengangkatnya sebagai panglima tertinggi
pasukan Korawa. Korawa dibantu oleh Resi Drona dan putranya Aswatama, kakak
ipar para Korawa yaitu Jayadrata, serta guru Krepa, Kretawarma,
Salya, Sudaksina, Burisrawas,
Bahlika, Sangkuni, Karna, dan masih
banyak lagi.
Pertempuran
berlangsung selama 18 hari penuh. Dalam pertempuran itu, banyak ksatria yang
gugur, seperti misalnya Abimanyu, Drona, Karna, Bisma, Gatotkaca, Irawan, Raja Wirata dan puteranya, Bhagadatta,
Susharma, Sangkuni, dan
masih banyak lagi. Selama 18 hari tersebut dipenuhi oleh pertumpahan darah dan
pembantaian yang mengenaskan. Pada akhir hari kedelapan belas, hanya sepuluh
ksatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu, Satyaki, Aswatama, Krepa dan Kretawarma.
Penerus Wangsa Kuru
Setelah
perang berakhir, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura.
Setelah memerintah selama beberapa lama, ia menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, yaitu Parikesit.
Kemudian, Yudistira bersama Pandawa dan Dropadi mendaki gunung Himalaya
sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Di sana mereka meninggal dan mencapai
surga. Parikesit memerintah Kerajaan Kuru dengan adil dan bijaksana. Ia menikahi
Madrawati dan memiliki putera bernama Janamejaya.
Janamejaya menikahi Wapushtama (Bhamustiman) dan memiliki putera bernama
Satanika. Satanika berputera Aswamedhadatta. Aswamedhadatta dan keturunannya
kemudian memimpin Kerajaan Wangsa Kuru di Hastinapura.
Catatan kaki
Bahan bacaan
- S Pendit, Nyoman (2003), Mahabharata, PT Gramedia Pustaka Utama, ISBN 979-22-0352-4.
- Haryanto, S. (1988), Pratiwimba Adiluhung, sejarah dan perkembangan wayang., Penerbit Djambatan, Jakarta., ISBN.
- Zoetmulder P.J. (1983), Kalangwan, sastra Jawa Kuno selayang pandang, Penerbit Djambatan, ISBN
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Mahabharata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar